Oleh
A.R. RIZAL
SEORANG kawan merasa jengkel sekali. Menyelesaikan ujian skripsi dengan baik, tapi terkendala dengan tanda tangan pengesahan. Sebagian besar dosen penguji sudah membubuhkan tanda tangan. Cuma, ada seorang yang enggan memberikan persetujuan. Menurutnya, skripsi yang diujinya tidak memenuhi standart.
Dosen yang satu itu punya standart sendiri. Standart kelewat tinggi. Melebihi standart yang dibuat oleh kolegannya. Benarkah dosen itu adalah sosok yang berstandart tinggi? Bisa ya, bisa tidak.
Bila sebagian besar dosen penguji telah memberikan persetujuan kelulusan, berarti dosen yang satu ini adalah masalah. Ia tidak membuat standart tinggi. Tapi, ia telah berlaku sebagai 'Tuhan'. Secara tidak sadar, ia telah menggunakan wewenang 'Tuhan' untuk menentukan nasib seseorang.
Kasus serupa terjadi di sebuah kampus terkenal di Pulau Jawa. Seorang dosen senior membawa kampusnya ke pengadilan. Ia mempersoalkan pihak kampus yang seolah menghalangi kenaikan pangkatnya sebagai guru besar.
Sang dosen terkenal sangat disiplin. Tak ada yang mengeluhkan kinerjanya. Tapi, kedisplinan itu bagi sebagian mahasiswa dianggap terlalu berlebihan. Standart sang dosen terlalu tinggi. Sang dosen seolah-olah menjadi 'Tuhan', memaksa orang-orang untuk sesuai dengan standart yang dibuatnya. Atas keluhan itulah, kenaikan pangkat sang dosen terkendala.
Ada orang yang kemudian berlaku sebagai 'Tuhan'. Karena keistimewaan, karena kelebihan, karena kepintaran, karena kekuasaan, ia kemudian tergoda menjadi 'Tuhan'. Ada penguasa yang memaksakan diri untuk melaksanakan program yang sudah dijanjikan. Padahal, anggaran tidak ada. Ia sudah berlaku seperti 'Tuhan' yang seolah-olah mengatakan: apa yang sudah direncanakannya harus dilaksanakan.
Ada seorang kepala daerah yang memaksakan diri membangun sebuah tugu. Lagi-lagi, anggaran tak ada. Maka, anggaran yang seharusnya dinikmati oleh pegawainya dipotong untuk membangun tugu. Ia sudah menjadi 'Tuhan', berkuasa mempermainkan nasib pegawainya.
Karena kesuksesan, seorang ayah menjadi 'Tuhan' bagi anak-anaknya. Si anak harus begini, tidak boleh begitu. Segala sesuatunya harus sesuai dengan keinginan sang ayah. Sang anak tinggal menuruti keinginan sang ayah.
Seorang gadis mempertuhankan kecantikannya. Ia membuat segala macam kriteria untuk calon suaminya. Sang calon haruslah lelaki gagah, tinggi, berseragam, punya mobil, punya rumah, punya deposito, dan mampu memberikan mahar apa saja yang diminta si gadis. Itu bukan kriteria. Tapi, mempertuhankan harapan. Bahwa jodoh itu adalah wewenang Tuhan. Sebagai hamba, manusia tinggal menjalankan takdir. Berusaha itu adalah sebuah ikhtiar untuk menjalankan takdir. Berikhtiar mendapatkan jodoh yang terbaik. Dan, apa yang terbaik bagi manusia itu kembali kepada wewenang Tuhan.
Setiap manusia berpotensi menjadi 'Tuhan'. Barangkali, Maslow lupa dengan kisah Fir'aun ketika membuat teori Psikologi Humanistik. Dalam teori aktulisasi diri, Maslow secara tak sengaja mengungkap potensi manusia menjadi 'Tuhan'.
Puncak dari Humanistik adalah aktulisasi diri. Manusia menjadi sosok yang teraktualisasi, menjadi.manusia murni, paripurna. Ketika ia tak lagi terikat kepada duniawi. Ia terhubung dengan kekuatan yang Maha Besar. Lalu, setelah teraktualisasi diri, manusia menjadi apa? Harus ada menjadi apanya. Sebab, di dunia ini di atas langit masih ada langit. Tak ada yang ter- selama masih di dunia.
Rupanya, setelah teraktualisasi diri, seseorang bisa tersesat menjadi 'Tuhan'. Setelah menjadi 'Tuhan', ia akan mecari gembala-gembala untuk disesatkan. Pada akhirnya, mata rantai itu berulang dan terus berulang. Akan selalu lahir Fai'aun-Fir'aun baru. Akan selalu muncul Malin Kundang baru. Hidup ini seperti roda pedati. Sejarah hanyalah pengulangan.
'Tuhan-Tuhan' modern itu bermunculan di mana-mana. Saking sayangnya sang ibu kepada sang putra, sang anak yang terlibat kasus pembunuhan pun tetap diselamatkan dari hukuman. Sang ibu rela menyogok hakim untuk membebaskan sang anak dari penjara. Sang ibu telah menjadikan uang sebagai 'Tuhan', sehingga ia rela membeli sebuah keadilan.
Sudah menyogok oknum polisi agar terbebas dari hukuman penjara, anak bos sebuah perusahaan besar akhirnya menuntut sang oknum. Sang oknum tidak bisa menjadi 'Tuhan' untuk kebebasannya. Tapi minimal, anak sang bos kini bisa menjadi 'Tuhan' untuk bertahta di atas nasib buruk sang oknum polisi.
Setiap manusia berpotensi menjadi 'Tuhan'. Tak perlu menjadi jenderal, tak perlu menjadi konglomerat, tak perlu menjadi sembilan naga, tak perlu menjadi profesor, bahkan kebodohan saja bisa dipertuhankan. Ada yang katanya keturunan orang alim yang perilakunya agak selenehan, tapi malah disanjung-puja. Bahkan, orang gila saja diminta wangsitnya agar menang taruhan di judi online.
Sekian tahun otonomi daerah, muncul raja-raja kecil. Oligarki merebak sampai ke sudut-sudut kampung. Bapak bupati, anak anggota DPR, anak yang lain anggota DPRD provinsi, anak yang lain anggota DPRD kabupaten, anak mantan bupati jadi bupati, bapak gubernur-anak walikota. Sudahlah, semua kekuasaan dan kekayaan di bawah kuasanya. Orang-orang semacam ini tak hanya berpotensi menjadi raja-raja kecil. Tapi, mereka bisa menjadi 'Tuhan-Tuhan' baru.
Istri terjerat kasus korupsi. Karena kekayaan dan pengaruh, sang suami tetap bisa kembali terpilih sebagai kepala daerah. Sungguh negeri yang indah. Negeri yang memudahkan siapa saja untuk menjadi 'Tuhan-Tuhan' baru. Dan jangan-jangan, kita hampir menjadi 'Tuhan-Tuhan' baru pula.
Di Australia, seorang menteri mundur dari jabatannya karena tak sengaja menggunakan kendaraan dinas untuk kepentingan pribadi. Ia menyampaikan permintaan maaf di depan publik. Si menteri tak ingin menjadi 'Tuhan'. Sebab, konon katanya, di negara atheis itu Tuhan tak ada.*
Tulisan ini telah terbit di Harian Singgalang edisi 8 Februari 2025
0 Comments