Selamatkan Pusaka, Lokalitas, dan Identitas Minangkabau: Kembalikan Nama Asli Nagari/Kelurahan di Sumbar



Oleh
H. Welya Roza
Universitas Bung Hatta Padang

Melalui pendanaan penelitian internal Program S2 Pendidikan Bahasa dan Sastera  Universitas Bung Hatta tahun 2016, H. Welya Roza dan Hj. Yetty Morelent mengangkat topik penelitian Kesalahan Berbahasa di Kota Padang. Satu bagian dari hasil penelitian tersebut menggambarkan kesalahan berbahasa yang terjadi pada bidang penamaan topografi’, yakni khususnya, nama Kelurahan. Sudah sebanyak 70% nama-nama Kelurahan di Kota Padang berubah dari yang asli, tidak lagi berbahasa Minangkabau. Yang masih asli tersisa hanya sebanyak 30%. 
Versi pengubahan penamaan berlangsung, setidaknya, di dalam tiga bentuk; yang pertama adalah dari kata asli kepada kata lain dengan arti yang berlainan. Sampel nama-nama Kelurahan di Kota Padang berikut tidak lagi asli; nama tersebut tertera, misalnya, pada plang nama kelurahan juga pada Wikipedia: https://id.wikipedia.org  wiki  Sungai_Sapih,_Kuranji Hal itu terlihat pada nama Kelurahan Sungai Sapiah yang berubah menjadi Sungai Sapih. Arti kata Sapiah berbeda dari Sapih. Yang pertama bermakna helaian atau bagian, sedangkan yang kedua diartikan seagai kondisi bercerai menyusu dari ibu. Kemudian, Kelurahan Alang Laweh dan Parak Laweh berubah, masing-masing, menjadi Alang Lawas dan Parak Lawas. Kata Laweh bermakna luas atau besar, sementara Lawas dipahami sebagai lama atau kenangan. Singkatnya, pengubahan penamaan tersebut mengganti, secara keseluruhan, arti/makna kata yang asli. Hal itu, sekaligus, menghapus asal-usul penamaan Kelurahan yang bersangkutan. Kata Sungai (Tepian) Sapiah adalah penamaan berdasarkan bentuk daerah (Sungai), daerah di salah satu bagian aliran Sungai (Batang) Kuranji. Kata Alang Laweh dan Parak Laweh adalah penamaan berdasarkan jenis binatang (burung Alang) dan bentuk daerah (Parak) yang besar atau luas.
Versi pengubahan penamaan yang kedua adalah dari kata asli menjadi kata lain yang tidak ditemukan, misalnya, di dalam kamus bahasa Minangkabau atau bahasa Indonesia. Nama Ikua Koto diubah menjadi Ikur Koto. Kata Ikua bermakna ekor, sedangkan kata Ikur tidak diketahui artinya. Kemudian, nama Bunguih Taluak Kabuang diubah menjadi Bungus Teluk Kabung. Kata Bungus dan Kabung juga tidak diketahui artinya. Sama seperti pada versi pertama, perubahan penamaan demikian akan menghilangkan arti kata aslinya. Perubahan dari kata asli kepada kata lain yang memiliki arti yang berbeda saja sudah menghilangkan asal-usul penamaan; apalagi perubahan kata asli kepada kata lain yang tidak memiliki arti sama sekali pada versi kedua. Kota Padang (Sumbar) pernah memiliki Bandara Tabing. Bahasa Minangkabau dan bahasa Indonesia tidak mengenal kata Tabing; yang ada adalah hanya, masing-masing, Tabiang dan Tebing. Dari hasil perunutan, ternyata nama lapangan pesawat terbacng Bandara Tabing itu dulu adalah hasil lomba yang dikukuhkan dengan surat keputusan (SK) Menteri Perhubungan Indonesia. Hal demikian dapat, sekaligus, dipahami bahwa pemerintah telah ikut andil dalam pengrusakan bahasa daerah, khususnya, melalui penamaan tersebut. Kata Ikua Koto merupakan penamaan berdasarkan jenis daerah yang berlokasi paling ujung.
Versi pengubahan penamaan yang ketiga adalah pengindonesiaan nama Kelurahan dengan arti kata yang asli sama dengan arti kata hasil bentukan. Pengubahan seperti ini terkadang mencampurkan kosa kata bahasa Minangkabau dan bahasa Indonesia (Padang Luar). Walaupun kata yang asli dan hasil bentukan memiliki arti/makna yang masih sama, tetapi dapat dipastikan ahwa pengubahan penamaan itu menghilangkan lokalitas (penamaan berbahasa daerah). Padahal, dari sisi pembinaan terhadap bahasa Negara/Nasional Indonesia, lokalitas itu justru bakal memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. Artinya, upaya pengindonesiaan untuk, khususnya, nama daerah Kelurahan tidak diperlukan dan tidak tepat. Kata Lubuk Minturun adalah pengubahan penamaan dari Lubuak Minturun, Lubuk Paraku dari Lubuak Paraku, Lubuk Buaya dari Lubuak Buayo, Kampung Lalang dari Kampuang Lalang, Air Tawar dari Aie Tawa, dan Padang Luar dari Padang Lua. 
Penelitian dengan tema yang sama Kesalahan Berbahasa dilanjutkan melalui penelitian mandiri oleh Tim Peneliti Kolaboratif pada periode tahun 2019-2022. Tim peneliti: H. Welya Roza, H. Muslim, Zulkarnaini, Ineng Naini, dan Edward Zebua meneliti nama Nagari/Kelurahan di 19 kabupaten/kota Sumatera Barat Sumbar. Sampel penelitian (lebih dari 40%) disepakati pada empat Luhak: 1) Luhak Nan Tuo (Batusangkar & Tanah Datar), 2) Luhak Nan Tangah (Agam & Bukittinggi), 3) Luhak Nan Bungsu (Payakumbuh & 50 Kota), dan 4) Luhak Rantau (Pesisir Selatan & Sijunjung). Presentase pengubahan penamaan yang terjadi terhadap nama Nagari/ Kelurahan di Sumbar, ternyata, lebih besar dari yang dilakukan di Kota Padang, yakni sebanyak 80%. Sebagai contoh, sampel nama yang sudah berubah adalah Kubu Kerambil, Padang Ganting, Lima Kaum, Barung-Barung Berlantai, Situjuh, Koto Kecil, dan Lubuk Basung. Sebagaimana yang disinggung di atas, versi pengubahan penamaan ada yang menunjukkan kombinasi kosa kata bahasa Minangkabau dan bahasa Indonesia, seperti Koto Kecil. Singkatnya, pengrusakan (pengubahan) penamaan Nagari/Kelurahan di Sumbar sudah sangat parah. Tim peneliti menyarankan agar pemerintah bersama DPRD di 19 kabupaten/kota dan tingkat I Sumbar segera mengusulkan, menyusun dan mengeluarkan Peraturan Gubernur/pemerintah (Pergub) dan Peraturan Daerah (Perda) tentang pengembalian keaslian nama daerah di Sumbar.
Secara umum, beberapa hal berikut perlu menjadi bahan renungan kita bersama. Pasal tentang kebahasaan di dalam UUD 1945 yang dikuatkan melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa setiap warga negara wajib melestarikan bahasa daerah. Artinya, aktifitas dan kenyataan pengubahan penamaan Nagari/ Kelurahan di Sumbar khususnya adalah tindakan yang tidak mematuhi amanat konstitusi. Jika kita juga arif membaca sejarah, tiga pahlawan yang berasal dari Sumbar ikut membidani kelahiran UUD 1945: Agussalim, M. Yamin, dan M. Hatta. Pengubahan penamaan di Sumbar itu juga berarti bahwa kita tidak lagi tergolong sebagai bangsa yang besar karena tidak menghargai jasa para pahlawan. Kemudian, pembiaran pengubahan penamaan itu sampai kini tergolong aneh karena hal itu merupakan contoh atau bukti ketidakpedulian para pakar bahasa (khususnya ahli bahasa dari ranah). Seperti yang telah disinggung di atas, pengubahan penamaan Nagari/Keluarahan di Sumbar berarti, sekaligus, menghapus asal-usul dari Nagari/Kelurahan itu. Jadi, pengubahan penamaan dan penghapusan asal-usul itu menghilangkan lokalitas, satu bagian kekhasan budaya di Sumbar yang mestinya menjadi kebanggaan generasi penerus. Akhirnya, satu fase dalam pembinaan bahasa Indonesia dipastikan akan lenyap, yakni ketiadaan lagi nama Nagari/ Kelurahan yang asli di Sumbar yang semestinya dapat memperkaya kosa kata bahasa Indonesia. (*)

Tulisan dibuat diawal Januari 2025 dan telah terbit di Harian Haluan Padang


0 Comments