Fitria Amalia Audy : Sumatera Barat Darurat Kekerasan, Jeritan Perempuan dan Anak Memanggil Kita Semua

 Ketua Umum BKOW Provinsi Sumatera Barat, dr. Hj. Fitria Amalia Audy, saat memberi sambutan pada seminar  mengusung tema "Bersama Memutus Mata Rantai Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak",  digelar Rabu (11/9).  dok Kitapunya 

PADANG– Badan Kerjasama Organisasi Wanita (BKOW) Sumatera Barat bersama berbagai lembaga terkait dan masyarakat sipil berkomitmen untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak. 

Dalam sebuah seminar yang mengusung tema "Bersama Memutus Mata Rantai Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak",  digelar Rabu (11/9).  Para peserta sepakat bahwa diperlukan upaya bersama untuk mengatasi masalah ini.

"Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah pelanggaran hak asasi manusia yang harus kita lawan bersama," tegas Ketua Umum BKOW Provinsi Sumatera Barat, dr. Hj. Fitria Amalia Audy dalam sambutannya.

Disebutkannya, seminar ini menjadi wadah bagi berbagai pihak untuk berbagi informasi, pengalaman, dan strategi untuk mencegah kekerasan. Peserta juga membahas pentingnya mengubah norma sosial yang mendukung kekerasan dan memberikan dukungan yang lebih baik bagi korban.

"Kita sama-sama menyadari bahwa kondisi mayarakat kita tidak berada dalam keadaan baik-baik saja,  melainkan kita sedang berada dalam keadaan darurat kekerasan terhadap perempuan dan anak. Setiap hari melalui media massa online dan offline  kita mendapat impormasi tentang berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi diberbagai  daerah di Indonesia. Bahkan kadang-kadang kita melihat dan menemukan tindakan-tindakan yang tidak layak dilakukan oileh anak yang masih berusia anak ( dibawah 18 tahun)," terangnya.

Sumatera Barat yang dikenal sebagai Ranah Bundo Kanduang, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak  terus meningkat dari tahun ke tahun. Kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2023 tercatat sebanyak 871 kasus dan kekekerasan terhadap anak pada tahun 2023 tercatat sebanyak 272 kasus. Informasi lebih lanjut ditemukan bahwa hingga April 2024 sudah tercatat sebanyak 146 kasus kekeearasan dan yang terbanyak adalah kasus kekerasan seksual.

Berdasarkan data dari DP3AP2KB Provinsi Sumatera Barat ditemukan data bahwa pada tahun 2023, terdapat 483 kasus kekerasan seksual pada anak,  kekerasan fisik 168 kasus, kekerasan psikis 167 kasus, eksploitasi 10 kasus, trafficking 2 kasus, penelantaran 28 kasus, dan lainnya 46 kasus.

Berdasarkan data tersebut, dapat dipahami bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang sebanarnya terjadi di Sumatera Barat lebih banyak dari data tersebut, karena data yang tercatat di DP3AP2KB dan lembaga lainnya adalah data korban yang melapor dan yang terekspos di media massa. Data kekerasan terhadap perempuan dan anak bagaikan gunung es, yang nampak adalah permuakaannya saja, yakni yang melapor dan terekspos, sementara yang tidak melapor dan terekspos diperkirakan lebih banyak lagi dari yang terdata tersebut.

"Di sisi lain kita mengetahui bahwa komitmen untuk menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan hanya menjadi komitmen bangsa Indonesia, tetapi juga telah menjadi komitmen dunia. Oleh karena itu pemerintah Indonesia telah meratifikai berbagai konvensi tingakat dunia dan membuat berbagai regulasi untuk mengatur perlindungan terhadap perempuan dan anak. Diantaranya ada Undang tentang Penghapusan  Kekerasan di Rumah Tangga, Undang-Undang tentang perlindungan Anak, Undang-Undang tentang Tidak Pidana Perdagangan Orang, Undang -Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Kornban, dan Undang-Undang dan sebagainya, dengan berbagai turunannya.," terangnya lebih jauh.

Di samping itu pemerintah juga telah membuat lembaga yang khusus menangani dan mengkoordinasi tentang pemberdayaan perempuan dan Perlindungan anak, mulai dari tingkat nasional, provinsi, sampai ke tingkat kabupaten dan kota. Sedangkan untuk mempercepat penuntasan kekerasan terhadap perempuan dan anak juga sudah dibentuk satgas-satgas yang terdiri dari berbagai perwakilan berbagai OPD, 

Lembaga profesi. akademisi dan praktisi. Pemerintah pusat dan daerah juga telah membentuk lembaga semi pemerintah, yakni lembaga/ organisasi yang dibuat oleh pemerintah dengan melibatkan partisipasi masyarakat dari berbagai prosesi untuk mencegah, menanggulangi dan mendampingi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, dalam bentuk P2TP2A, PATBM, Forum Puspa, LPA, Puapaga  dan lain-lain. Lebaga semi pemerintah ini bertugas untuk mencegah, menanggulangi dan mendapingin korban kekerasan terhadap perempuan dan anak.   Disamping itu ada pula LSM-LSM yang konsen terhadap pemberdayaan perempuan dan perlindungan , seperti WCC Nurani Perempuan, LP3M, Ruandu, dan lain sebagainya. 

"Meskipun sudah ada regulasi dan sudah sedemikian banyak lembaga yang konsen terhadap pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, namun kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bukannya berkurang, tetapi setiap tahun semakin meningkat dengan latar belakang dan modus yang lebih kompleks," kata Amel lagi. 

Disadari sepenuhnya bahwa memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak, sudah pasti bukanlah hal yang mudah, dan bukan hanya  tugas   pemerintah saja, tetapi membutuhkan peran serta seluruh lemnbaga-lembaga yang ada serta melibatkan elemen masyarakat secara berkolaborasi dan bersinergi. Melalui Seminar “ Bersama Memutus Mata Rantai Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” ini diharapkan dapat melahirkan pokok-pokok pikiran cerdas tentang bagaimana bentuk kolaborasi dan sinergitas antar pemerintah, lembaga, organsasi dan LSM yang tepat untuk menuntaskan masalah kekerasan perempuan dan anak, yang juga merupakan masalah pelanggaran hak azasi manusia. YL



0 Comments