Kotak Kosong, Sandera, dan Fulus

 

Ilustrasi

Prof. Elfindri Unand

Negara ini salah satu terkorup di dunia, dan tidak ada kecendrungan menurun angka korupsinya. Itulah yang penulis sampaikan di awal kuliah ekonomi anti korupsi di Fakultas Ekonomi Unand.

Memalukan memang. Selain melemahnya institusi "judiciary agencies", masalah ambang batas 20 persen pencalonan kandidat untuk maju sebagai calon pimpinan nasional sampai ke daerah sebagai sumber biang keroknya maraknya korupsi.

Dalam diskusi dengan berbagai kandidat calon legislatif dan calon pimpinan daerah ditemukan indikasi itu.

Kenapa? 

Karena jika ingin menjadi calon pemilihan di sebuah partai, uang untuk berbagai dalih diperlukan agar mendapatkan rekomendasi. 

Hampir semua partai berperilaku seperti itu dan hampir di kebanyakan tempat di Tanah Air ini. Ini baru menjadi calon anggota legislatif saja.

Ketika ingin maju kontestasi, maka diperlukan lagi biaya mahar. Beruntung kalau telah memiliki partai, bisa jadi partai dengan berlindung pada prinsip demokrasi bisa mengajukan kandidat tanpa uang mahar. Namun tunggu dulu, biaya kampanye masih tetap tinggi.

Jika tidak cukup suara partai pendukung tersedia, maka koalisi memerlukan mahar. Karena kursi itu ada empat kaki, maka masing masing kaki mahal biayanya. 

Untuk maju di sebuah kabupaten/kota saja maka bisa jadi harga 1 kursi berkisar Rp 100 sampai Rp 500 juta. Jika 10 kursi diperlukan agar sampai 20 persen, maka akan menyebabkan kebutuhan biaya mahar saja untuk mendapatkan cincin maju bisa menelan biaya Rp 3-5 milyar. 

Itu baru level kabupaten. Bahkan beberapa kandidat yang ingin maju menuturkan kepada penulis, uang mahar itu tidak saja diarahkan kepada ketua partai di kabupaten, karena sifatnya berjenjang perlu pula rekomendasi pimpinan propinsi dan pusat. Kalau ndak ada Rp 100 juta, Rp 50 juta cukuplah keluh seorang ketua partai gurem menyampaikan".

Lantas apa narasi kotak kosong dengan biaya mahar?, kotak kosong akan dapat terjadi ketika partai tidak cukup uang untuk membayar mahar. Maka jelas kandidat yang didukung dengan dominasi bersama bisa melemahkan posisi pengusung yang belum cukup untuk batal mengusung kandidat, kendatipun hitung hitungan elektabilitasnya calon pemenang. Ini ada ditemukan di depan mata, kasus Anis Baswedan sebelum keputusan MK terhadap batas pengajuan calon Gubernur DKI. Ketika itu Anis mati pucuk. Dan ndak bisa maju.

Kalaupun maju, namun kursi wakil akan diminta oleh pengusung dan ini tidaklah mudah.

Sementara arus massal demo pada Kamis 22 Agustus 2024 merupakan puncak kemarahan yang dialamatkan pada dua kelompok. Kelompok presiden yang dengan kotornya bermain agar langgeng kekuasaan dari anak dan menantunya, serta kelompok wakil rakyat.

Jadi rakyat berhadapan dengan wakilnya. Mereka yang diam karena tersandera. Bagi pimpinan partai itu diam merupakan mahar, karena banyak sekali kasus kasus pimpinan partai yang diketahui setidaknya , namun akibat kekuasaan presiden maka kasus itu dijadikan barang sandera.

Jadi kenapa DPR bersikeras untuk berusaha tetap ambang 20 persen? Walau akhirnya mengalah. Karena akan menyuburkan korupsi politik itu sendiri. Pimpinan partai juga ingin berlindung akibat dari kasus kasus korupsi yang rahasianya sudah diketahui oleh presiden.

Jika kita amati dibalik keputusan Mahkamah Konstitusi menurunkan ambang batas menjadi 7.5 Persen adalah upaya yang paling jitu untuk memudahkan proses demokrasi dapat menurunkan biaya politik. Jadi ini perlu dikawal dengan sebenar benarnya. 

Bagi koruptor jangan sok benar hidup. Karena darah anda jika makan uang haram, rasa malu akan hilang. 

Anda tidak lagi sebagai sosok manusia sempurna diciptakan Allah SWT, namun lebih hina dari binatang. Jadi berhentilah menerima uang fulus hasil korupsi. Berhentilah menyandera semua partai politik yang pernah ada kasus korupsi. Seretlah semua mereka ketika masih hidup, semoga setelah terbukti di penjara mereka bisa baik dan taubat nashuha.

0 Comments