Maek, 16 Tahun Terakhir


Penulis selfie berlatar belakang sejumlah menhir yang terletak di kawasan Maek. Dok pribadi


Oleh Donal Meisel

Maek? Apa itu? Dimana itu? Sebuah Pertanyaan terngiang di kepala sejak awal awal tahun 2000an saat memulai karir sebagai Jurnalis di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia yang berkantor di Jakarta. Bertanya kesana kemari ke teman se profesi, akhirnya terjawab jawaban awal bahwa Maek merupakan sebuah daerah terpencil di pelosok Kabupaten 50 kota Sumatera Barat. Tak menunggu lama, dengan sepeda motor pabrikan Jepang itu, saya coba pergi kesana sendiri yang ternyata sangat jauh di jangkauan dari kota Bukittinggi.

Perjalanan kala itu di tempuh dengan waktu sekitar 3 jam lebih dari kota Payakumbuh yang jaraknya 30 kilo meter dari tempat saya berada, Bukittinggi. Sebab kala itu kondisi jalanan rusak parah serta tikungan dan tanjakan ekstrim. Selama perjalanan yang cukup melelahkan itu, hamparan perbukitan dan hutan lebat menghiasi ditambah sejuknya udara. Tiba di  sana, sebuah pemandangan sangat indah khas perbukitan menjulang tinggi seolah membentuk "love" dengan mata telanjang terlihat begitu saja. Bukik Posuak, nama yang dikenal selama ini.

Saat memasuki perkampungan itu, terlihat jemuran coklat warga menanti kering dibiarkan begitu saja di pinggir  jalan. Memang mayoritas warga disana berprofesi sebagai petani dan peladang gambir, coklat serta padi.

Menhir, apa pula itu? Awalnya saya sangat asing dengan istilah itu. Namun belakangan saya paham itu adalah peninggalan kuno zaman purba yang konon sudah berusia jutaan tahun silam saat peradaban ada.

Berbentuk bebatuan biasa namun lengkap dengan ornamen ukiran yang entah bagaimana maksud dan artinya. Yang unik adalah jumlahnya sangat banyak dan tertata dengan cukup rapih berbeda dengan bebatuan umumnya kita temukan. Saat itu kondisinya masih semak belukar dipenuhi rerumputan dimana-mana.

Hanya sekedar pelepas dahaga pertanyaan tadi, saya kembali ke "base camp" di Kota Payakumbuh mengendarai sepeda motor itu kali ini berwaktu tempuh lebih cepat, 2 jam.

Awal tahun 2010an, saya kembali mencoba menjajal trek jalanan itu, yang kondisinya tidak jauh berbeda beberapa tahun sebelumnya. Namun perbedaannya, diperjalanan yang dulu sangat asri dengan hutan belukar, saat itu mulai ditemui ladang perkebunan warga di kiri dan kanan jalan.

Kondisi di tempat Menhir di Maek, sudah lebih baik dan bersih karena sudah ada yang menjaga disana. Bentuk dari menhir itu juga masih seperti dulu, tak jauh berbeda bahkan lebih terawat.

Tetap melakukan tugas jurnalistik normal, ambil gambar wawancara dan seterusnya, tak lupa mampir di sebuah warung tak jauh dari lokasi itu sembari bercengrama dengan warga sekitar. Sebuah kegiatan normal jika kita seorang Jurnalis yang suka bertualang, karena masih muda serta darah masih "merah".

Suasana ramah dan antusias terkesan kuat saat itu. Warga berharap dengan adanya ekspose kampung mereka ke media, akan menambah informasi khayalak agar makin dikenal kampung berikut  situs sejarah ini.

2016, saya kembali kesana namun kala itu bersama kru televisi yang akan syuting program wisata. Setiba disana, reaksi mereka diluar dugaan saya.

Saya menceritakan bagaimana sejarah dan tempat ini. Namun seakan tidak tertarik sama sekali, akhirnya kami kembali walau hanya sempat mengambil stok gambar saja sebagai pelepas tanya saja.

"Biasa aja mas, secara visual gambarnya mati", Ujar Asisten Produser yang memimpin ekspedisi saat itu. Saya hanya bergumam, apa yang kurang dari Menhir ini? Sebuah peninggalan purba jauh dari peradaban manusia modern yang masih menjadi misteri namun semua sangat nyata terpampang di depan mata.

Memang secara visual, tidak ada yang menarik jika tidak ada rasa keingin tahuan tentang peradaban pra sejarah itu. Namun melalui narasi yang kuat lah bisa di jelaskan bagaimana dan apakah ini sebenarnya.

Akhirnya kami pergi dari sana dengan hanya berbekal beberapa adegan "receh" yang iseng kami buat di lokasi tersebut. Sebagai media audio visual, hukumnya wajib menyajikan adegan atraktif kepada khalayak, informatif, edukatif dan menghibur.

2018, saya kembali ke  sana bersama seorang senior jurnalis yang saat itu tengah membuat tulisannya. Tujuan awal perjalanan kami adalah dari ibukota propinsi Sumatera Barat, Padang ke Pekan Baru Riau guna menghadiri acara di sana namun menyempatkan diri untuk mampir melihat "Batu" zaman megalitik itu.

Dengan berkostum layaknya seorang peneliti lengkap dengan atributnya sekaligus mendokumentasikannya.

Frame demi frame, pose demi pose kami dokumentasikan dengan baik menggunakan kamera digital mumpuni milik teman itu. Kami tidak terlalu berlama lama disana karena tidak ada juga yang akan dituju selain itu melihat batu misterius itu, selain nantinya akan mampir di Candi Muara Takus, Kampar, Propinsi Riau, juga mendokumentasikan hal menarik lainnya disana

Tentu, kondisi jalanan ke Maek sudah lebih baik jika dibanding awal pertama saya kesana. Namun sedikit.

Maek, dari awal saya mengenal hingga saat ini, tidak terlalu signifikan perubahannya. Layaknya situs dilindungi Balai Peneliti Cagar Budaya tersebut.

Syafrizal, salah seorang warga setempat mengatakan, sebelum situs ini di pugar, batu batu tersebut dibiarkan begitu saja bahkan banyak diantaranya di jadikan warga sebagai batu pondasi rumah hingga masjid, bahkan sekolah.

Ketidak tahuan warga saat itu, tentu bisa di pahami karena kontur wilayah yang banyak bebatuan menjadikan bahan dasar bangunan dapat di peroleh dengan sangat mudah, tak terkecuali batuan Menhir yang bernilai sejarah tinggi.

Menurut warga setempat, sebelum di tetapkan sebagai benda cagar budaya, Menhir adalah batu mejan atau batu pusara dizaman purba. Begitulah pemahamannya dulu. Sekarang, sudah lebih tercerahkan lantaran Balai Cagar Budaya sudah ada disana menjaga kelestarian konservasi sejarah tersebut.

Ada 4 tempat yang jumlahnya cukup banyak. Jorong Ampang Godang, Ronah, Koto Godang dan  Koto Tinggi. Ke empat tempat tersebut semua bebatuan itu menghadap ke perbukitan. Konon itu merupakan "Kiblat" bagi manusianpra sejarah itu.

Bahkan ada beberapa Menhir yang kembar. Menurut cerita warga itu adalah si mati dikubur orang terpandang serta yang lain adalah pengawalnya yang ikut di kubur hidup hidup, begitulah konon kepercayaan animisme kala itu.

Tak terhitung jumlahnya jika di total, namun yang terpusat itu di empat daerah diatas yang seluruhnya berada di Bayar Maen, Kecamatan Bukik Barisan Kabupaten 50 Kota itu, walau masih sangat banyak pecahan kecil di pekarangan rumah warga, atau bahkan di perkebunan yang di biarkan begitu saja.

Maek, di juluki dengan kampung sejuta Menhir karena ribuan jumlahnya. Sangat cocok untuk orang yang punya ketertarikan akan sejarah purba, bahkan lebih tua dari zaman Mesir kuno.

Di Maek, saat ini banyak ditemukan perkebunan gambir yang menjadi komoditas unggulan daerah ini. Bahan baku ekspor dengan kualitas premium, biasa di kirim ke Tanah Hindustan India sebagai bahan baku pewarna tekstil ataupun makanan pokok mereka.

Saat ini harganya tengah bagus bagusnya yang secara linear akan mempengaruhi peningkatan ekonomi masyarakat setempat. Daerah ini mendadak akan muncul jutawan dari  perkebunan gambir, meski terletak sangat ujung atau terpelosok dari "Peradaban" riuhnya ibu kota.

Selain itu, ladang coklat juga ikut menyumbang perkapita warga jika harganya tengah melambung disamping pangan pokok, padi.

Aspek wisata juga kaya di daerah ini. Air terjun eksotis bernama Air Terjun Tujuh Tingkat juga  ada, meski butuh usaha ekstra untuk dapat kesana. Sebuah wisata adrenalin yang menyegarkan mata dan pikiran jika berkunjung kesana.


Penampakan Menhir di kawasan Maek. Ist 


Untuk mengunjungi Maek dengan segudang daya tariknya, kita bisa menggunakan kendaraan pribadi, atau kendaraan umum minibus dari kota Payakumbuh, berikut ongkos 20 ribuan per orang dengan waktu temput 2 hingga 3 jam sekali dalam sehari saat lepas zuhur, kecuali hari Kamis. Karena hari itu adalah hari pasar atau "Balai" di Maek, tempat warga setempat bertransaksi jual beli kebutuhan pokok ataupun hasil bumi, Maek.

Selain itu, melewati Kapur IX juga bisa namun tentunya akan lebih jauh jaraknya berikut waktu tempuhnya. Terakhir yang saya ketahui, jalanannya masih sangat rusak dan tidak bisa ditempuh dengan mobil "Normal" meski dengan sepeda motor, bisa. 

Namun, kondisi infrastruktur jalanannya, terakhir di informasikan oleh warga setempat, masih 60 persen rusak berlobang. Selain itu sejumlah titik ada yang longsor sehingga dibutuhkan ekstra kehati-hatian jika berkendara ke sana. Kendaraan biasa selain sedan atau kendaraan kecil, tidak di anjurkan kesana, disamping kondisi kendaraan yang prima dan sehar merupakan syarat mutlak yang tidak bisa di tawar-tawar. Terlebih di tanjakan kelok angin berembus atau kelok galak, warga menyebutnya. Tanjakan dengan kemiringan sekitar 30 derajat yang di sampingnya jurang sangat dalam.

Ke Maek, memang dibutuhkan minat khusus dan hari khusus pula guna menghabiskan waktu disana. Karena jarak cukup jauh dengan topografi perbukitan, dapat menghabiskan energi hanya di dalam perjalanan pergi maupun pulang saja.

Di 2024, seorang kawan mengajak saya untuk pergi kembali ke Maek dalam acara Festival Maek yang untuk kali pertama di adakan. Gebyar acara tersebut diharapkan mampu menyita perhatian publik agar datang dan berkunjung ke destinasi wisata sejarah itu.

Banyak kegiatan di adakan selain seremonial acara yang di hadiri sejumlah pejabat dan masyarakat luar, juga ada pagelaran seni tradisional  yang hingar pertengahan Juli 2024 ini.

Namun, karena kesibukan lain sebagai pewarta audio visual, memaksa saya untuk menunda kedatangan ke negeri seribu Menhir tersebut, Terlebih juga selain butuh waktu, kesempatan, serta keungan yang tidak sedikit untuk hanya sekedar melihat batu peninggalan pra sejarah yang masih penuh teka teki itu.

Kemasan paket wisata yang menarik, mungkin bisa di akomodasikan bersama masyarakat setempat selain membantu perekonomian ekowisata yang pastinya membantu perekonomian warga. Maek, cocok untuk dikunjungi jika kita butuh wisata edukasi dan petualangan, meski tidak cukup hanya dalam satu hari kunjungan.

Semoga dalam waktu dekat bisa kembali menjajak tempat sejarah budaya itu, bersama keluarga. Biasanya jika sendiri atau bersama teman, keluarkan harga terbaik, namun jika bersama keluarga keluarkan usaha terbaik.

Maek dengan segudang pesonanya semoga akan tetap menjadi Maek tempat misteri sejarah masa purba namun dapat di nikmati tidak hanya warga setempat, juga para pelancong peminat sejarah kuno yang bisa di barengi dengan petualangan di Negeri 1000 Menhir.(*)



0 Comments