Festival Budaya: Pesan Damai dari Eks Napiter

 

Ilustrasi. 
BUKITTINGGI-Ayahnya seorang dokter spesialis. Siapa menyangka, dari pangkuannya besar seorang pemuda yang tersangkut tindak pidana terorisme. 

Saat ini, pemuda itu tengah membayar kesalahan pasca-pemidanaanya. Seolah menebus dosanya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ia tengah mengusung sebuah festival kebangsaan dengan tema “Sudahkah Kita Indonesia”?

Mungkin sudah jamak kita dengar, dari kalangan keluarga berada anaknya terlibat tindak pidana. Misalnya narkotika, perkelahian atau tindak pidana terkait gaya hidup lainnya. Namun, bagaimana jika tindak pidananya terkait tentang ideologi teroris. “Ya, itulah saya. Ayah saya dokter spesialis, anaknya pernah menjadi teroris,” ujar DG (30) pada penulis usai melaksanakan wajib lapor pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Bukittinggi, Senin (15/7).

Pernah dan ia tidak akan kembali. Begitulah tekad yang ia bulatkan sejak ditangkap Densus 88 Anti Teror, 20 Desember 2019 silam. Keterlibatannya dalam jaringan terorisme tersebut berawal dari keinginannya mendalami ilmu agama. Dari pengajian ke pengajian, akhirnya ia bertemu dengan seorang rekan yang membawa pemahaman terorisme kepada DG. 

Dibesarkan di lingkungan dan keluargaang nyaman, tidak membuatnya larut. Saat itu, menurutnya keinginan untuk mengikuti pengajian tersebut merupakan pelarian dari ketidaknyaman rumah. Ketika itu ada masalah di dalam keluarga. Ada hal yang ia tidak inginkan terjadi di keluarganya dan tidak ingin pula orang lain tahu. Maksud hati keluar rumah mencari ketenangan, namun berujung pada sebuah kajian mengarah pada gerakan klandestin. 

“Akhirnya nyangkut di sebuah pengajian yang awalnya saya tidak tahu terafiliasi pada paham terorisme,” kenang ayah satu putra ini.

Nurani DG sebenarnya mulai bertanya-tanya ketika ada tindakan dari jamaah pengajian tersebut yang radikal. Misalnya merusak baliho-baliho hingga menebar ranjau paku dekat pos polisi. Namun, referensi berupa buku dan video yang diberikan pimpinan kajian membuat ia takluk dan menerima paham tersebut.

Sebelum terlibat dengan tindak pidana terorisme, DG sempat mengenyam pendidikan di sebuah institut seni di Sumbar. Tepatnya pada Fakultas Seni Pertunjukan dengan Program Studi Seni Tari. Namun, di awal perkuliahan ia terjerat pada penyalahgunaan narkotika.

 “Semua itu karena saya kurang kontrol diri dan kurang selektif dalam bergaul. Akhirnya, gaya hidup sesat tersebut menjerat saya hingga meninggalkan bangku kuliah,” sesalnya.

Tahun 2014, DG lantas pindah ke Jakarta. Di sana, ia ikut casting film untuk sinetron dan FTV. Untuk meningkatkan kapasitas diri pada bidang seni peran, ia bergabung di sekolah akting demi meningkatkan kemampuannya. Kerasnya dunia seni peran, membuatnya patah arang. “Meski belum puas, saya kehilangan semangat kala itu. Bosan dan akhirnya kembali ke kampung halaman,” kenangnya.

Sepulangnya dari rantau, DG diarahkan orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan di Jurusan Psikologi, pada sebuah universitas swasta di Kota Padang. Lagi-lagi ia tidak menyelesaikan pendidikannya. Ada kegalauan dalam dadanya hingga meninggalkan bangku kuliah.

DG memilih kembali ke ibu kota dan menjadi santri di Mahad Utsman bin Affan, Jakarta. “Pilihan ini tidak lain karena rasa kosong dalam dada saya. Saya ingin memperdalam ilmu agama di Mahad ini meskipun di sana saya hanya mendalami Bahasa Arab. Lingkungan pendidikannya membuat saya menemukan nuansa religiusitas yang berbeda,” ungkap Dio.

Tahun 2017, ia kembali pulang ke Batusangkar dan menikah. Ia mendirikan LGM atau Lakon Gerak Minang. Sanggar seni budaya tersebut ia gagas bersama istri dan sejumlah seniman di Tanah Datar dan sekitarnya. “Meski sanggar masih terbilang baru, namun cukup berkontribusi pada stabilitas ekonomi sebagai seniman baik untuk keluarga dan pengelola lainnya,” ujarnya. 

Siapa sangka penghidupan yang susah payah ia bangun goncang di tengah niat baiknya memupuk ketaqwaan dan menegaskan ketauhidan.  Akhir tahun 2018, DG yang ingin memperbaiki pemahaman dalam keyakinannya, ditunggangi oleh kawan yang telah terpapar paham terorisme. “Tujuan rutin ikut pengajian, awalnya agar lebih lurus dalam beragama. Naas malah terlibat dalam paham radikalisme.  Lepas dari mulut harimau, masuk ke dalam mulut buaya,” ungkap Dio.

DG yang punya rasa ingin tahu tinggi terbawa dalam arus paham radikal. Hanya dalam waktu setahun, DG secara tidak sadar telah berperan dalam kelompok radikal. Tepat pada Desember 2019, DG ditangkap oleh kepolisian ketika pulang dari pertunjukan yang terlaksana di Blok M Square, Jakarta Selatan. Padahal ketika itu, LGM yang ia pimpin sedang memupuk prestasi di Kabupaten Tanah Datar. 

November 2020, melalui Putusan PN Jakarta Utara Nomor 1069/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr, DG dijatuhi hukuman penjara dengan masa pidana selama 4 tahun atas kejahatan terorisme. 

Putusan ini menjadi peledak dalam diri DG. Selama menjalani pemidanaan, ia menyadari kesalahan yang diperbuat dan bertekad untuk berubah. Dipidana secara berpindah, DG menjalani deklarasi  dan ikrar kembali ke Pancasila dan NKRI tahun 2022 di Lapas Khusus Gunung Sindur. Dari Lapas Khusus Gunung Sindur yang diperuntukkan untuk narapidana dengan kasus terorisme, DG dipindahkan ke Lapas Narkotika Gunung Sindur. 

Dari Lapas tersebutlah ia mulai menjalani asimilasi hingga memasuki masa reintegrasi sosial sebagai klien pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Bukittinggi (Bapas Bukittinggi). DG masih menjalani reintegrasi sosialnya hingga September mendatang. 

Dalam masa reintegrasi sosialnya tersebut, DG mendapatkan bimbingan dan pengawasan dari banyak pihak. Selain dari Bapas Bukittinggi sendiri, DG juga diawasi dan dibina pihak terkait lainnya. Sebut saja dari Densus 88, BNPT hingga sokongan dari instansi terkait di Kabupaten Tanah Datar.

Bertepatan dengan pengakhiran masa percobaan reintegrasi sosialnya tersebut, DG dan kawan-kawan di sanggar Lakon Gerak Minang (LGM) bersama dengan Pemuda Kreatif Tanah Datar akan menggelar festival seni budaya bertajuk Ikrar Fest akan membuat kita berpikir Sudahkah Kita Indonesia?. “Sebenarnya tidak kami rencanakan bertepatan dengan akhir masa percobaan Pembebasan Bersyarat saya. Mungkin sudah Qadarullah acara ini bertepatan dengan momen tersebut. Kami dengan segala keterbatasan memohon dukungan dan sokongan dari semua pihak,” harap ayah satu putra ini.

Ikrar Fest sendiri direncanakan digelar di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar. Acara yang dikemas dengan drama tari ini bertujuan untuk menjadikan seni sebagai senjata utama dalam membangun jiwa nasionalisme. Kemudian mengembalikan kesadaran audiens akan pentingnya pengetahuan berbangsa dan bernegara. 

“Tentunya lewat festival ini kita tujukan juga untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa. Sasaran kami adalah siswa sekolah, mahasiswa dan masyarakat umum lainnya. Harapan saya tidak ada lagi DG berikutnya yang terjebak paham sesat terorisme yang kerap berkedok kajian agama atau topeng-topeng lainnya,” ungkapnya.

Selain drama tari sebagai acara puncak, Ikrar Fest bertema Sudahkan Kita Indonesia? Ini juga akan menggelar lomba tari tradisional hingga seminar bertema pencegahan terorisme. Sebagai narasumber Dio dan kawan-kawan mengundang DeBINTAL (Dekat Bintang dan Langit). DeBINTAL merupakan yayasan yang diinisiasi Densus 88 Anti Teror untuk mewadahi para eks-napiter yang telah selesai menjalani masa hukuman. “Selain itu, Insya Allah kita juga mengundang Ustadz Sofyan Tsauri yang sama-sama kita ketahui adalah mantan polisi yang pernah terlibat terorisme jaringan Al Qaida Asia Tenggara,” lanjutnya.

DG dan kawan-kawan berharap Ikrar Fest dapat dukungan dari banyak pihak. Baik itu dukungan moril dan materil. Sebelumnya, DG dan komunitasnya telah menggelar Pancasila Fest yang bertepatan dengan hari Lahir Pancasila tahun 2023 silam. “Dengan kesadaran tinggi, kami dalam komunitas ini berupaya untuk mengedepankan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai tujuan. Seoptimal mungkin, kami kemas dengan potensi yang kami miliki untuk menyampaikan nilai-nilai tersebut. Sekali lagi, kami mengharapkan dukungan dari semua pihak,” harap DG. Sandy Adri

0 Comments