Suasana webinar |
JAKARTA-Selama pandemi Covid-19, anak-anak lebih banyak memanfaatkan internet untuk belajar dan berkomunikasi dengan teman. Kondisi saat ini justru dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk mencari korban dengan mudah.
Berdasarkan temuan awal terkait kerentanan anak dari eksploitasi seksual online di masa pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh End Child Prostitution, Child Pornography & Trafficking Of Children For Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia, masih terdapat pengalaman buruk yang dialami responden saat berinternet di masa pandemi. Karena itu, selama pandemi butuh pengawasan lebih ketat dari pihak orangtua kepada anak-anak dalam mengakses internet.
“Proses belajar di rumah melalui akses internet di satu sisi memiliki dampak positif, yakni menstimulasi anak untuk belajar mandiri dan mendekatkan relasi antara orangtua dan anak. Namun, saat yang bersamaan ada bahaya yang mengancam anak-anak kita. Berdasarkan kasus kejahatan seksual dan pornografi selama ini, tidak ada lagi daerah yang steril dari kejahatan seksual di ranah online,” terang Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Aman (Kemen PPPA), Ciput Eka Purwianti pada Media Talk “Ancaman Terselubung Kejahatan Seksual Bagi Anak di Dunia Maya” yang dilakukan secara virtual, Jumat (17/7).
Berdasarkan temuan awal kerentanan anak dari eksploitasi seksual online di masa pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh ECPAT Indonesia, dari 1203 responden, terdapat 287 pengalaman buruk yang dialami responden saat berinternet di masa pandemi. Pengalaman buruk tersebut diantaranya dikirimi pesan teks yang tidak senonoh, gambar atau video yang membuat tidak nyaman, gambar atau video yang menampilkan pornografi, ajakan untuk livestreaming atau membicarakan hal tidak senonoh, diunggahnya hal-hal buruk tentang responden tanpa sepengetahuannya, dan dikirimi tautan berisi konten pornografi.
“Banyak kejahatan seksual yang awalnya dilakukan pada situasi offline, saat ini mengarah pada situasi online. Ranah online membuka peluang bagi pelaku kejahatan seksual untuk melancarkan aksinya. Para pelaku kejahatan menjadi lebih leluasa melakukan eksplorasi terhadap korbannya, bahkan bisa berjejaring lintas negara,” ungkap Program Manager ECPAT Indonesia, Andy Ardian.
CEO Project Karma, Glen Hulley mengimbau agar anak-anak berhati-hati dalam berteman di media sosial. Selama ini, pelaku kejahatan seksual dalam mendekati korban adalah dengan menggunakan profil palsu dengan berpura-pura sebagai publik figur. Selain itu, diharapkan anak-anak tidak dengan mudah menyebarluaskan foto pribadi mereka di media sosial. Foto-foto ini dapat menjadi media untuk memeras korban (anak).
Ia juga mengatakan dalam menyelesaikan kasus kejahatan seksual terhadap anak diperlukan strategi nasional dengan melibatkan berbagai pihak. Glen mengaku, dalam menyelesaikan kasus kejahatan seksual, Project Karma bekerjasama dengan Facebook, Aparat Penegak Hukum (APH), dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
“Kami melakukan pelatihan bagi para APH dalam penanganan eksploitasi seksual anak, bekerjasama dengan beberapa mitra untuk melakukan konseling psikologi dan rehabilitasi korban, dan OPD setempat untuk menyusun regional assessment centre,” ujar Glen.
Saat ini serbuan konten yang menimbulkan rasa tidak nyaman bagi anak dikhawatirkan dapat mempengaruhi kejiwaan mereka, apalagi jika anak-anak sudah kecanduan konten pornografi. Selain menyebabkan penyusutan jaringan dan kerusakan pada otak, hal tersebut dapat menyebabkan gangguan pada emosi anak dan masa depan suram bagi anak.
Founder Yayasan Sejiwa, Diena Haryana mengatakan selain mewujudkan anak agar menjadi netizen yang unggul, kita juga harus mendorong peran dan melakukan penyadaran kepada orangtua bahwa mereka punya tanggung jawab besar agar mereka bisa mendampingi dan melindungi anak dari adiksi konten pornografi.
“Kedua orangtua satu sama lain harus menciptakan komunikasi yang hangat, sehingga anak akan merasakannya. Lalu, keluarga harus bisa menciptakan momen kebersamaan. Sebisa mungkin dalam ruang makan atau ruang keluarga, kita jangan berfokus pada gawai, tapi fokus berkomunikasi satu sama lain. Di sana adalah momen kita saling bercerita. Kita juga harus menciptakan apresiasi antara orangtua dan anak, seperti membiasakan mengucapkan terima kasih,” pesan Diena.
Di tingkat hilir, berpindahnya kejahatan seksual melalui konten pornografi dari ranah offline ke ranah online ternyata juga dapat menyebabkan penularan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Penyakit ini termasuk HIV/AIDS, sifilis, gonore, herpes, vaginitis, dan lain-lain.
“Pengalaman kami di lapangan, selama ini penularan IMS terjadi pada penjaja seksual/prostitusi, korban perdangan manusia, penjara remaja pria, dan anak atau remaja yang coba-coba setelah menonton konten pornografi. Semua korban kejahatan seksual yang saya dampingi pernah terpapar atau menonton konten pornografi di media, dan orangtua mereka tidak tahu atau abai akan hal tersebut,” ungkap salah satu relawan Yayasan Peduli Sahabat, Dewi Inong Irana.
Penyebab lainnya adalah masih banyaknya informasi yang tidak tepat tentang upaya menjaga kesehatan reproduksi remaja di internet. Untuk itu, penting bagi orangtua untuk tidak tabu dan merasa malu untuk menjelaskan tentang kesehatan reproduksi remaja pada anak, baik antar ayah pada putranya, dan ibu kepada anak perempuannya. rel